AMAR maruf nahi munkar yaitu mengajak kepada perbuatan baik dan mencegah dari perbuatan kemungkaran atau maksiat, merupakan kewajiban bagi setiap pribadi muslim, lebih-lebih para pemimpin yang ada di tengah-tengah umat. Seorang muslim tidak boleh mengabaikan kemungkaran, karena cuek terhadap maksiat sama dengan mengundang murka Allah Swt.

“Jika tidak ada seorang pun yang mencegah kemungkaran, maka Allah akan murka. Jika kejahatan sudah merajalela, maka tungulah azab Allah kepada semua orang Islam,” ujar Drs Tgk HA Karim Syeikh, MA, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Banda Aceh.

Kewajiban mencegah maksiat itu dimulai dari diri pribadi, keluarga, masyarakat hingga pemimpin secara luas. “Di tingkat yang paling kecil, kemungkaran atau kemaksiatan yang terjadi di rumah itu merupakan tanggung jawab pribadi muslim, tidak bisa menyalahkan pemimpin,” kata Tgk Karim.

Di Aceh, lanjutnya, sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam, perlu ada keterpaduan dalam mencegah maksiat ini, kompak mulai dari para pemimpin pemerintahan di provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga ke tingkat paling bawah di desa hingga rumah tangga.

“Jangan sampai ada pemimpin yang giat mencegah maksiat, tapi di bawahnya justru cuek tak peduli apa-apa. Begitu juga sebaliknya, ada komponen masyarakat yang terus bergerak melawan kemaksiatan, tapi pemimpin pemerintahannya malam diam saja melihat kemungkaran yang terjadi. Jadi perlu sinergis,” jelasnya.

Mencegah kemungkaran, sama seperti dokter yang mengobati tumor atau kanker. Jika tidak segera ditangani, dia akan semakin parah dan terus menjalar ke seluruh bagian tubuh. “Dai itu sama seperti dokter yang mencegah penyakit, jika maksiat terus dibiarkan, maka akan merajalela,” ungkap Karim Syeikh.

Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry ini menambahkan, ada tiga tingkatan pencegahan maksiat di tengah umat. Pertama, preventif yaitu ditujukan kepada mereka yang belum kena atau berbuat maksiat seperti kasus LGBT, pergaulan bebas, khalwat, maisir, judi, makan riba dan kemaksiatan lainnya.

Kedua, rehabilitasi kepada mereka yang sudah terkena atau melakukan maksiat. Ini dilakukan dengan tazkirah, tausiyah atau peringatan dengan pendekatan yang humanis. “Berikan bimbingan kepada mereka yang sudah terjerumus dalam maksiat. Perlu ada tempat rehabilitasi bagi mantan pelaku kemaksiatan untuk membina mereka kembali ke jalan yang benar seperti dulu ada kasus anak punk, gafatar atau mereka yang terlibat LGBT,” sebutnya.

Sedangkan tingkatan pencegahan maksiat yang ketiga adalah penindakan secara hukum, misalnya seperti uqubat cambuk. “Ini adalah bagian dari upaya untuk mereka agar bertaubat dan kembali ke jalan Allah,” katanya.

Karim Syeikh juga mengingatkan kepada para pemimpin di Aceh agar komit dalam menjalankan syariat Islam, jangan hanya sesaat saja. “Harus ada komitmen kuat untuk menegakkan syariat ini pada pemimpin, jangan hanya pada saat mau pilkada saja baru sibuk dengan syariat Islam untuk kepentingan politiknya,” jelasnya.

Tanggung jawab pemimpin ini juga diatur dalam pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh (UU-PA). “Pasal itu mengamanahkan pemerintahan di Aceh, baik provinsi maupun kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelaksanaan syariat Islam,” katanya.

Berita Terhangat